Sudiro Lesmana merupakan terpidana kasus dugaan korupsi proyek water boom senilai Rp 6,5 miliar dari total dana Rp 21,1 miliar yang didanai APBD Jambi pada 2005, dengan cara menggunakan dokumen palsu. Direktur PT Karya Restu Perwitasari ini harus menjalani hukuman selama empat tahun lebih ditambah subsider.
Dalam dua kasus ini, hanya Sudiro Lesmana yang menjalani hukuman sepenuhnya. Sementara Syamawi Darahim, Ade Shanto, dinyatakan bebas oleh Mahkamah Agung (MA) dalam kasasinya. Tak mau diperlakukan tidak adil, Sudiro kembali bangkit. Dia mengajukan peninjauan kembali (PK) atas kasus water boom.
Dasar PK Sudiro dan pengacaranya Ikhsan Hasibuan adalah amar putusan Samawi Darahim nomor 113 PK/Pid.Sus/2009 tanggal 17 Maret 2010. Isinya mengabulkan permohonanan peninjauan kembali Samawi Darahim, selaku pemilik proyek dan membebaskannya dari segala dakwaan.
Amar putusan Samawi Darahim inilah yang menjadi bukti baru (novum) Sudiro Lesmana mengajukan permohonan PK. Alasannya, keduanya didakwa melakukan tindakan bersama-sama. Ini sesuai dengan putusan MA nomor 251K/PID.SUS/2017, mejelis hakim kasasi menyatakan Sudiro Lesmana terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama dengan Samawi Darahim.
“Kini harapan untuk memperoleh kebenaran dan keadilan yang telah sempat pupus itu tumbuh kembali. Setelah Mahkamah Agung melalui amar putusan nomor 113 PK/Pid.Sus/2009 tanggal 17 Maret 2010 mengabulkan permohonan PK Samawi Darahim,” katanya, saat membacakan permohonan PK setebal tujuh halaman tersebut.
Sidang PK ini mulai digelar di Pengadilan Negeri (PN) Jambi sekitar pukul 12.55, kemarin (5/10). Sidang diketuai NJ Marbun, didampingi dua hakim anggota Syaiful Arif dan Dahlia Panjaitan. Dan di kursi termohon, dua orang jaksa Wawan R dan Rama.
Menurut Sudiro, majelis PK tidak saja memberikan pertimbangan hukum yang tepat untuk membebaskan Samawi Darahim. Melainkan juga membeberkan sejumlah bukti hukum penting yang dapat menggambarkan secara jelas dan tegas, di mana dan bagaimana posisi hukum Sudiro selaku rekanan dalam perkara itu.
Bukti hukum itu di antaranya menyangkut absah tidaknya kontrak proyek. Majelis hakim PK secara tegas menyatakan bahwa keberadaan kontrak pelaksanaan proyek pengembangan dan pembangunan kawasan taman wisata dan rekreasi taman rimba Jambi, sah secara hukum. Lalu penandatanganan kontrak tersebut bukan merupakan perbuatan melawan hukum.
Mengenai kerugian negara, secara tegas menyatakan tidak ada kerugian negara secara pidana dalam perkara water boom. Yang ada adalah kelebihan pembayaran pembayaran oleh negara sebesar Rp 1.788.731.080 kepada Sudiro Lesmana selaku rekanan. Kelebihan tersebut semestinya bisa dikembalikan, dan atau tidak perlu terjadi manakala pengerjaan proyek tidak dihentikan oleh Gubernur Jambi (saat itu dijabat Zulkifli Nurdin).
Poin lain dari amar putusan majelis hakim PK Samawi Darahim adalah soal kerugian negara. Dengan tegas dinyatakan bahwa proyek yang menjadi perkara ini dihentikan oleh Gubernur Jambi sedang dalam proses pengerjaan. “Sehingga belum dapat ditentukan ada tidaknya kerugian negara yang memperkaya diri, orang lain, atau suatu korporasi,” tegasnya.
Selanjutnya, dinyatakan juga bahwa Sudiro Lesmana selaku rekanan telah melakukan pekerjaan-pekerjaan proyek berupa perencanaan, pembelian peralatan dan penimbunan tanah. Total dana yang dikeluarkan untuk pelaksanaan proyek tersebut senilai Rp 5,1 miliar lebih. Apabila proyek water boom tidak dihentikan oleh Gubernur Jambi, maka pekerjaan masih bisa dilanjutkan dengan cara melakukan adendum kontrak. Dana yang tersisa dapat dimasukkan kembali dalam APBD 2006.
“Dalam perkara ini tidak ada pihak yang dapat dimintai pertanggungjawaban hukum, kecuali Gubernur Jambi, yang telah menghentikan proyek tersebut secara melawan hukum. Dengan demikian, saya semestinya bukan menjadi pihak yang dapat dimintai pertanggungjawaban hukum,” terang Sudiro yang saat itu mengenakan baju kaos.
Tak hanya itu, menyangkut pihak-pihak yang semestiya bertanggung jawab secara hukum dalam perkara ini, majelis hakim PK Samawi Darahim secara gamlang menegaskan, perbuatan penghentian proyek oleh Gubernur Jambi adalah perbuatan melawan hukum. Dan Gubernur Jambi-lah yang seharusnya bertanggung jawab atas segara risiko yang timbul sebagai akibat penghentian proyek tersebut.
“Saya tidak menggunakan perusahaan orang lain secara tanpa hak, tidak memalsukan tanda tangan, tidak menerbitkan bank garansi palsu, tidak menandatangani kontrak, dan tidak menerima pembayaran yang bukan menjadi hak saya, sebagaimana dakwaan primair yang didakwakan kepada saya,” tegasnya.
Begitu juga dikatakan Ikhsan Hasibuan, kuasa hukum Sudiro Lesmana. Menurut dia, permohonan PK Sudiro sendiri, kuasa hukum juga mengajukan permohonan yang sama. Hanya saja, dalam persidangan kemarin permohonan itu tidak dibacakan.
“Materinya hampir sama. Ada perlakuan tidak adil. Novum dalam PK ini adalah amar putusan majelis PK terhadap Samawi Darahim,” jelasnya. “Selain itu, pada Januari 2010, Sudiro juga mengajukan PK untuk kasus PLTD. Kini hanya menunggu putusan saja,” tambahnya.
Sudiro sebagai rekanan pemenang proyek water boom tersebut didakwa memalsukan dokumen menggunakan perusahaan lain dalam mengerjakan proyek itu, sehingga kerugian negara cukup besar. Padahal dalam kontrak kerja dengan pengguna anggaran yaitu Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Provinsi Jambi pemenang tender adalah PT Bina Laksana Aneka Sarana (BLAS) yang dipimpin Ade Shanto.
Namun dalam pelaksanaan kontrak kerja pimpinan proyek Aken Purba (disidangkan terpisah) mengubah kontrak kerja yang seharusnya ditandatangani Direktur PT BLAS Ir Ade Shanto selaku pemenang tender, dialihkan ke Sudiro Lesmana sebagai Direktur PT Karya Restu Perwitasari melalui Victor (kini masih buron dan masuk DPO).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar