TOKYO, SELASA - Hiruk-pikuk ”perseteruan” dua negara kuat di kawasan Asia Timur, Jepang dan China, yang dalam tiga pekan terakhir semakin meruncing dan melebar ke mana-mana, diyakini akan mulai memasuki babak baru.
Walaupun masih terkesan sangat lemah, keduanya sama-sama mengeluarkan sinyal positif, bersedia bertemu dan duduk bersama membahas persoalan mereka. Momen pertemuan Asia-Europe Meeting (ASEM) di Brussels, Belgia, pekan depan, diyakini akan dimanfaatkan untuk itu.
Kesempatan tersebut diyakini bukan tidak mungkin bakal dimanfaatkan oleh kedua pemimpin negara untuk menggelar pertemuan sampingan di sela-sela sejumlah agenda acara resmi.
Seperti diwartakan, cekcok di antara keduanya semakin lebar dan saling berbalas, mulai dari aksi saling tangkap warga negara masing-masing dengan tuduhan pelanggaran wilayah teritorial sampai ke aksi saling ancam macam gertakan China untuk menyetop ekspor mineral langka logam tanah jarang mereka ke Jepang.
Padahal, sumber konflik utama keduanya justru terkait masalah sengketa kepulauan, yang berada di kawasan perairan Laut China Timur, yang memang telah diperebutkan sejak lama. Kepulauan itu oleh masing-masing pihak punya nama sesuai bahasanya, Kepulauan Senkoku (bahasa Jepang) atau Kepulauan Daiyou (bahasa China).
Lebih lanjut, menurut Kepala Sekretaris Kabinet Pemerintahan Jepang, yang juga tangan kanan PM Kan, Yoshito Sengoku, jika kondisi memang memungkinkan, pihaknya akan mencoba mengatur pertemuan sampingan itu.
Dalam kesempatan terpisah, juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Jiang Yu, menyatakan, pihaknya selama ini sangat menghargai hubungan baik yang telah terbentuk di antara kedua negara. Namun, tetap, untuk menjaga hubungan baik itu perlu keterlibatan aktif dari kedua belah pihak untuk terus menjaganya.
”Untuk itu Jepang juga harus menunjukkan langkah konkretnya, terutama untuk menghilangkan berbagai dampak negatif dari insiden yang selama ini terjadi dan terkait erat dengan hubungan bilateral kedua negara,” ujar Yu, yang belakangan mengaku tidak punya pengetahuan soal prospek pertemuan kedua negara memanfaatkan momen ASEM tersebut.
Selain mengacu pada insiden penangkapan kapten kapal nelayan China beberapa waktu lalu saat tengah mencari ikan di wilayah perairan yang masih dipersengketakan kedua negara, Yu juga mendesak Jepang menghentikan aksi kapal-kapal patrolinya, yang dinilai mengganggu otoritas China yang juga berpatroli di kawasan itu.
Selama ini kapal patroli kedua pihak memang kerap terlibat aksi saling incar dan saling mengawasi walaupun memang tidak jelas benar soal apa yang seharusnya dilakukan di sana.
Ancaman China
Sementara itu, ancaman China untuk menghentikan pengiriman mineral langka logam tanah jarang ke Jepang terbukti sangat efektif. Mineral langka itu memang sangat dibutuhkan dalam berbagai industri berbasis teknologi tinggi macam pemutar hard disk komputer, komponen kendaraan hibrida, dan komponen peralatan teknologi tinggi lain.
Secara ekonomi Jepang memang semakin bergantung pada China, terutama dalam konteks impor mineral langka itu. Walaupun dibantah otoritas China, penyetopan ekspor mineral langka itu secara de facto telah dirasakan para pihak produsen dan industri di Jepang. Menurut Menteri Ekonomi Jepang Banri Kaieda, jika dibiarkan, kondisi itu akan sangat membahayakan secara substansial bagi perekonomian negerinya.
Selama ini China memang diketahui menjadi satu-satunya negara pemasok bahan mineral langka itu. Sedikitnya 95 persen pasokan dunia berasal dari sana.
Jepang dan China sama-sama terikat ke dalam hubungan perdagangan, investasi, dan bantuan bernilai multimiliaran dollar AS walaupun pada kenyataannya hingga saat ini di antara kedua negara masih terdapat ”luka sejarah” masa lalu, terutama semasa Perang Dunia II.
Kalangan pengamat mengkhawatirkan konflik saat ini tidak hanya akan memengaruhi kedua negara, tetapi juga negara lain, seperti sejumlah negara di kawasan Asia Tenggara dan bahkan negara sekutu terdekat Jepang, Amerika Serikat, yang sama-sama resah dengan sikap China yang semakin agresif.
Tidak hanya dengan Jepang, klaim China atas wilayah teritorialnya juga berdampak pada sejumlah negara ASEAN, yang tak urung beberapa waktu lalu mengundang keinginan AS untuk ikut campur tangan.
Sengketa juga terjadi antara China dan sejumlah negara ASEAN terkait perebutan dua gugus kepulauan di Laut China Selatan, Spratly dan Paracel. Dalam kasus itu AS secara terus terang menyatakan ketertarikannya untuk ikut terlibat dalam upaya penyelesaian. Namun, China menolak mentah-mentah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar