Hefni EffendiJakarta
“Saya selaku Menteri Lingkungan Hidup dan seluruh pemangku kepentingan mengharap dan menantikan hasil perjuangan IPB dan kontribusinya dalam membela kepentingan lingkungan” tulis Gusti Hatta, dalam kalimat akhir naskah key note speech pada workshop yang digagas oleh PPLH-IPB di IICC (IPB International Convention Centre) Bogor, 21 Oktober 2010.
Harapan yang cukup berat telah dibebankan pada pundak insan akademis, untuk memberikan peran riil, proaktif, dan berkesinambungan dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Ketika UU Lingkungan Hidup baru diintroduksi pada tahun 1982 (UU No 4), tampak bahwa ketentuan pada UU tersebut masih berupa pokok-pokok arahan yang cenderung memberikan pengenalan dan pemahaman tentang lingkungan hidup dengan segala dinamikanya, dan pengelolaan lingkungan yang seyogyanya diemban secara kolektif.
Pada era tahun 80-an ini, instrumen pengelolaan lingkungan hidup masih terbatas, seperti yang kita kenal dengan Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) berupa perangkat pengelolaan yang wajib dilakukan oleh suatu kegiatan atau usaha. Pada masa ini, kita belum mengenal instrumen pengelolaan yang sifatnya sukarela (voluntary).
Kalangan dunia usaha pun cenderung menganggap bahwa pengelolaan lingkungan adalah beban semata. Belum tumbuh menjadi suatu inisiatif kepedulian akan perlunya menjaga kelestarian lingkungan. Pendekatan pengelolaan diakui masih sentralistik yakni pemerintah pusat lebih memainkan perannya.
Pada UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hdup, pendekatan sentralistik dan sektoral mulai ditinggalkan. Desentralisasi dan pelibatan masyarakat sebagai pemangku kepentingan yang terkena dampak baik langsung maupun tak langsung, lebih diberikan porsi perannya, sejalan dengan geliat reformasi di segala bidang kala itu.
Reposisi Peran StakeholdersDalam rangka itu, maka lahirlah Keputusan Kepala Bapedal No. 8 Tahun 2000 tentang keterlibatan masyarakat dan keterbukaan informasi dalam proses analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). Bagaimana masyarakat berperan serta dalam pengelolaan lingkungan dielaborasi secara terperinci.
Masyarakat diposisikan tidak hanya sebagai objek terkena dampak, tapi juga menjadi bagian integral yang tak terpisahkan, sebagai subjek yang juga menjadi inti dalam memformulasikan pengelolaan lingkungan hidup.
Sebagai pengejawantahan kepedulian yang terus-menerus terhadap pelestarian lingkungan hidup, semakin berkembangnya perangkat pengelolaan lingkungan, dan semakin dinamiknya fenomena lingkungan, serta sebagai antisipasi terhadap perubahan lingkungan global, Indonesia untuk kali ketiga memperbaharui UU lingkungan hidup. Tepat 3 Oktober 2009, UU No 32 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, telah secara resmi diundangkan.
Pada UU No. 32 Tahun 2009, sasaran pengelolaan lingkungan hidup tidak semata hanya tercapainya, keselarasan, keserasian, keseimbangan, kelestarian, dan keberlanjutan lingkungan; kaidah lebih spesifik seperti: ekoregion, pencemar membayar (polluter must pay principle), partisipatif, kearifan lokal, tata kelola (good environmental governance), dan antisipatif terhadap perubahan lingkungan global, juga menjadi sasaran yang membedakan dengan UU sebelumnya.
Hal lain yang menjadikan UU No. 32 Tahun 2009 ini lebih komprehensif adalah adanya rangkaian aspek manajemen yang utuh mulai dari perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharan, pengawasan, hingga penegakan hukum.
Perencanaan mengamanahkan agar pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan berpatokan pada inventarisasi, serta kemampuan daya tampung dan daya dukung, sehingga pemerintah akan menyusun Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) di level pusat, propinsi, maupun daerah, dengan mempertimbangkan wilayah ekoregion.
Setelah beberapa dasawarsa, kesadaran lingkungan hidup masyarakat mengalami ekskalasi pesat, dicirikan oleh beragamnya organisasi masyarakat yang berkecimpung di bidang lingkungan, dunia industri yang mulai menganggap bahwa pengelolaan lingkungan adalah bagian dari tanggung jawab sosial.
Tampak pula peningkatan kepeloporan masyarakat dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup. Masyarakat tidak hanya sekedar berperan serta, tetapi mampu berperan secara nyata dan proaktif dalam upaya pelestarian lingkungan hidup. Bahkan kecenderungan masyarakat konsumen terhadap produk yang berlabel ramah lingkungan (eco-friendly) dapat mengarahkan dunia usaha untuk berlomba mengadopsi arah tendensi ini.
Masyarakat dan kalangan industriawan mulai memperlihatkan geliatnya, tidak hanya taat pada peraturan yang sifatnya wajib (obligatory), tapi juga secara sukarela mengadopsi dan menerapkan model-model pengelolaan lingkungan yang bersifat voluntary seperti: ISO 14000, produksi bersih, ecolabel, CDM, dsb. Hal demikian dikenal dengan istilah beyond compliance.
Sebagai bentuk pengakuan dan penghargaan pemerintah terhadap upaya pentaatan baik yang dilakukan oleh perorangan, kalangan dunia usaha, pemerintah daerah, maka diformulasikanlah beberapa kebijakan yang bernuansa insentif dan disinsentif. Kebijakan tersebut meliputi: kalpataru, PROPER (Penilaian kinerja lingkungan), adipura, CDM, dsb.
Pada UU No. 23 Tahun 1997 pelibatan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan masih terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan 1) Hak, kewajiban, dan peran dalam pengelolaan lingkungan; 2) Hak ajukan gugatan terhadap pencemaran; 3) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan (melibatkan masyarakat). Kesemuanya itu dielaborasi dalam 10 pasal.
Selanjutnya pada UU No. 32 Tahun 2009 cakupan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan lebih beragam yaitu: 1) Hak, kewajiban, dan peran dalam pengelolaan lingkungan; 2) Penanggulangan dan pemulihan kerusakan lingkungan; 3) Larangan perusakan lingkungan; 4) Hak ajukan gugatan terhadap pencemaran, 5) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan; 6) Ketentuan pidana bagi perusak lingkungan; yang diejawantahkan dalam 22 pasal.
Peningkatan ragam keterlibatan masyarakat pada UU No. 32 Tahun 2009 mengindikasikan bahwa masyarakat telah didudukan setara dengan pemangku kepentingan lainnya (pemerintah dan dunia usaha), sehingga masyarakat dapat pula memposisikan dirinya di garda depan, dalam merealisasikan lingkungan lestari.
Stakeholders pembangunan (pemerintah, dunia usaha, akademisi, masyarakat, LSM) baik sebagai regulator, praktisi, peneliti dan pemerhati, mesti berkolaborasi secara sinergis dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Pemahaman akan peran komprehensif segenap stakeholders dalam pengelolaan lingkungan hidup amatlah krusial, agar tercipta harmonisasi dalam menyikapi undang-undang ini, yang oleh sebagian kalangan dianggap sebagai produk hukum yang cukup revolusioner, karena banyaknya instrumen baru dan pedasnya sanksi.
Perguruan tinggi sebagai entitas akademik mempunyai peran dan posisi strategis dalam berkontribusi terhadap penyelesaian dinamika lingkungan. Karena selain dapat melakukan penelitian dan memberikan konsep solusi, juga mampu menjelmakan dirinya sebagai model dan protipe dalam pelaksanaan program pelestarian lingkungan yang berkelanjutan. (*)
“Saya selaku Menteri Lingkungan Hidup dan seluruh pemangku kepentingan mengharap dan menantikan hasil perjuangan IPB dan kontribusinya dalam membela kepentingan lingkungan” tulis Gusti Hatta, dalam kalimat akhir naskah key note speech pada workshop yang digagas oleh PPLH-IPB di IICC (IPB International Convention Centre) Bogor, 21 Oktober 2010.
Harapan yang cukup berat telah dibebankan pada pundak insan akademis, untuk memberikan peran riil, proaktif, dan berkesinambungan dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Ketika UU Lingkungan Hidup baru diintroduksi pada tahun 1982 (UU No 4), tampak bahwa ketentuan pada UU tersebut masih berupa pokok-pokok arahan yang cenderung memberikan pengenalan dan pemahaman tentang lingkungan hidup dengan segala dinamikanya, dan pengelolaan lingkungan yang seyogyanya diemban secara kolektif.
Pada era tahun 80-an ini, instrumen pengelolaan lingkungan hidup masih terbatas, seperti yang kita kenal dengan Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) berupa perangkat pengelolaan yang wajib dilakukan oleh suatu kegiatan atau usaha. Pada masa ini, kita belum mengenal instrumen pengelolaan yang sifatnya sukarela (voluntary).
Kalangan dunia usaha pun cenderung menganggap bahwa pengelolaan lingkungan adalah beban semata. Belum tumbuh menjadi suatu inisiatif kepedulian akan perlunya menjaga kelestarian lingkungan. Pendekatan pengelolaan diakui masih sentralistik yakni pemerintah pusat lebih memainkan perannya.
Pada UU No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hdup, pendekatan sentralistik dan sektoral mulai ditinggalkan. Desentralisasi dan pelibatan masyarakat sebagai pemangku kepentingan yang terkena dampak baik langsung maupun tak langsung, lebih diberikan porsi perannya, sejalan dengan geliat reformasi di segala bidang kala itu.
Reposisi Peran StakeholdersDalam rangka itu, maka lahirlah Keputusan Kepala Bapedal No. 8 Tahun 2000 tentang keterlibatan masyarakat dan keterbukaan informasi dalam proses analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). Bagaimana masyarakat berperan serta dalam pengelolaan lingkungan dielaborasi secara terperinci.
Masyarakat diposisikan tidak hanya sebagai objek terkena dampak, tapi juga menjadi bagian integral yang tak terpisahkan, sebagai subjek yang juga menjadi inti dalam memformulasikan pengelolaan lingkungan hidup.
Sebagai pengejawantahan kepedulian yang terus-menerus terhadap pelestarian lingkungan hidup, semakin berkembangnya perangkat pengelolaan lingkungan, dan semakin dinamiknya fenomena lingkungan, serta sebagai antisipasi terhadap perubahan lingkungan global, Indonesia untuk kali ketiga memperbaharui UU lingkungan hidup. Tepat 3 Oktober 2009, UU No 32 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, telah secara resmi diundangkan.
Pada UU No. 32 Tahun 2009, sasaran pengelolaan lingkungan hidup tidak semata hanya tercapainya, keselarasan, keserasian, keseimbangan, kelestarian, dan keberlanjutan lingkungan; kaidah lebih spesifik seperti: ekoregion, pencemar membayar (polluter must pay principle), partisipatif, kearifan lokal, tata kelola (good environmental governance), dan antisipatif terhadap perubahan lingkungan global, juga menjadi sasaran yang membedakan dengan UU sebelumnya.
Hal lain yang menjadikan UU No. 32 Tahun 2009 ini lebih komprehensif adalah adanya rangkaian aspek manajemen yang utuh mulai dari perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharan, pengawasan, hingga penegakan hukum.
Perencanaan mengamanahkan agar pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan berpatokan pada inventarisasi, serta kemampuan daya tampung dan daya dukung, sehingga pemerintah akan menyusun Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) di level pusat, propinsi, maupun daerah, dengan mempertimbangkan wilayah ekoregion.
Setelah beberapa dasawarsa, kesadaran lingkungan hidup masyarakat mengalami ekskalasi pesat, dicirikan oleh beragamnya organisasi masyarakat yang berkecimpung di bidang lingkungan, dunia industri yang mulai menganggap bahwa pengelolaan lingkungan adalah bagian dari tanggung jawab sosial.
Tampak pula peningkatan kepeloporan masyarakat dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup. Masyarakat tidak hanya sekedar berperan serta, tetapi mampu berperan secara nyata dan proaktif dalam upaya pelestarian lingkungan hidup. Bahkan kecenderungan masyarakat konsumen terhadap produk yang berlabel ramah lingkungan (eco-friendly) dapat mengarahkan dunia usaha untuk berlomba mengadopsi arah tendensi ini.
Masyarakat dan kalangan industriawan mulai memperlihatkan geliatnya, tidak hanya taat pada peraturan yang sifatnya wajib (obligatory), tapi juga secara sukarela mengadopsi dan menerapkan model-model pengelolaan lingkungan yang bersifat voluntary seperti: ISO 14000, produksi bersih, ecolabel, CDM, dsb. Hal demikian dikenal dengan istilah beyond compliance.
Sebagai bentuk pengakuan dan penghargaan pemerintah terhadap upaya pentaatan baik yang dilakukan oleh perorangan, kalangan dunia usaha, pemerintah daerah, maka diformulasikanlah beberapa kebijakan yang bernuansa insentif dan disinsentif. Kebijakan tersebut meliputi: kalpataru, PROPER (Penilaian kinerja lingkungan), adipura, CDM, dsb.
Pada UU No. 23 Tahun 1997 pelibatan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan masih terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan 1) Hak, kewajiban, dan peran dalam pengelolaan lingkungan; 2) Hak ajukan gugatan terhadap pencemaran; 3) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan (melibatkan masyarakat). Kesemuanya itu dielaborasi dalam 10 pasal.
Selanjutnya pada UU No. 32 Tahun 2009 cakupan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan lingkungan lebih beragam yaitu: 1) Hak, kewajiban, dan peran dalam pengelolaan lingkungan; 2) Penanggulangan dan pemulihan kerusakan lingkungan; 3) Larangan perusakan lingkungan; 4) Hak ajukan gugatan terhadap pencemaran, 5) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan; 6) Ketentuan pidana bagi perusak lingkungan; yang diejawantahkan dalam 22 pasal.
Peningkatan ragam keterlibatan masyarakat pada UU No. 32 Tahun 2009 mengindikasikan bahwa masyarakat telah didudukan setara dengan pemangku kepentingan lainnya (pemerintah dan dunia usaha), sehingga masyarakat dapat pula memposisikan dirinya di garda depan, dalam merealisasikan lingkungan lestari.
Stakeholders pembangunan (pemerintah, dunia usaha, akademisi, masyarakat, LSM) baik sebagai regulator, praktisi, peneliti dan pemerhati, mesti berkolaborasi secara sinergis dalam pengelolaan lingkungan hidup.
Pemahaman akan peran komprehensif segenap stakeholders dalam pengelolaan lingkungan hidup amatlah krusial, agar tercipta harmonisasi dalam menyikapi undang-undang ini, yang oleh sebagian kalangan dianggap sebagai produk hukum yang cukup revolusioner, karena banyaknya instrumen baru dan pedasnya sanksi.
Perguruan tinggi sebagai entitas akademik mempunyai peran dan posisi strategis dalam berkontribusi terhadap penyelesaian dinamika lingkungan. Karena selain dapat melakukan penelitian dan memberikan konsep solusi, juga mampu menjelmakan dirinya sebagai model dan protipe dalam pelaksanaan program pelestarian lingkungan yang berkelanjutan. (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar